Dalam
referensi pendidikan kritis akan dijumpai seorang pemikir asal Brasil
bernama Paulo Freire. Melalui karya-karyanya tentang pendidikan, Freire
telah menggugah dunia pendidikan agar setiap insan harus berjuang untuk
menjadi manusiawi yang bebas dari penindasan (Baca: Pemikiran Paulo
Freire). Kritiknya yang tajam terkait itu adalah pendidikan “gaya bank”
dimana memosisikan peserta didik sebagai “bejana kosong”. Pendidikan
ibaratnya tempat menabung, dimana peserta didik menjadi celengan dan
guru/dosen sebagai penabung. Kondisi yang demikian ini memandang peserta
didik (mahasiswa) sebagai objek yang tidak memiliki pengetahuan,
sehingga dalam praktiknya menjadikan ruang kelas sebagai arena dosen
semata, sementara ruang gerak mahasiswa terbatas pada kegiatan menerima (taken for granted),
mencatat, dan menyimpan. Dalam konteks ini, Paulo Freire tidak sekadar
melancarkan kritikanya, namun ia juga menawarkan solusi yang dikemasnya
dalam term Problem-Posing Education.
Baca Juga:
Substansi
dari pandangan teoretis tersebut sejalan dengan semangat pembelajaran
yang diterapkan dalam perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini ditegaskan
dalam Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi. Dalam regulasi ini cukup jelas dan tegas menguraikan
Standar Proses Pembelajaran yang dijabarkan dalam pasal 10 – 18. Secara
khusus dalam pasal 11 ditegaskan bahwa karakteristik proses pembelajaran
terdiri atas sifat interaktif, holistik, integratif, saintifik,
kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa.
[download Permenristekdikti No. 44/2015]
Sekiranya kedua standing point di
atas (teori dan regulasi) cukup menjadi dasar untuk mengintroduksi
tulisan ini dengan harapan dapat membuka hati dan pemikiran kita untuk
segera move on dan meninggalkan gaya (style) klasik dalam proses pembelajaran.
Pentingnya SCL di Perguruan Tinggi
Disadari sepenuhnya bahwa pembelajaran di perguruan tinggi merupakan kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (Facilitating, Empowering, and Enabling),
agar mahasiswa belajar secara aktif dan kreatif dalam mengkonstruksi
pengetahuan baru. Implementasi desain tersebut akan tercapai jika segala
proses pembelajaran berorientasi pada mahasiswa. Sebagaimana teori dan
regulasi dalam introduksi di atas pada dasarnya menegaskan bahwa sudah
seharusnya proses pembelajaran beralih (shifting) dari pengajaran berbasis dosen (Lecturer Centered Learning/LCL) menuju pengajaran berbasis mahasiswa (Student Centered Learning/SCL).
Pembelajaran
berbasis SCL diharapkan kepada dosen agar memotivasi mahasiswa dengan
menyajikan berbagai masalah yang akan memicu kreativitas mereka. Namun
peran dosen tidak berhenti di situ saja, melainkan harus menjadi
fasilitator dan evaluator untuk memastikan agar tujuan pembelajaran
tercapai dan terhindar dari sesat pikir (fallacy).
Baca Juga:
Menariknya
dalam proses ini adalah karena bukan hanya mahasiswa yang belajar
kepada dosen, tetapi juga terbangun pembelajaran antar-mahasiswa, bahkan
dosen pun belajar dari mahasiswa. Di sinilah perlunya memosisikan dosen
dan mahasiswa sebagai partner pembelajaran. Bukan pembelajaran satu
arah, dimana dosen hanya sibuk pada laptopnya, sibuk di papan tulis
dalam menjelaskan materi, sementara mahasiswa hanya datang duduk, diam,
dan kalau pun mendegarkan materi dari dosen, hanya Tuhan yang tahu.
Baca Juga:
Dalam
proses ini jelas dan tegas bahwa sudah semestinya dosen “beralih
fungsi”, dari pengajar (monoton ceramah) menjadi mitra pembelajaran,
motivator, fasilitator, dan evaluator pembelajaran. Lalu bagaimana
metode yang akan digunakan? Secara praktis, terdapat beberapa metode
yang dapat dilakukan diantaranya: small group discussion, role playing and simulation, case study, self directed learning, problem based learning, research based learning, project based learning, collaborative learning, dan tentu masih ada yang lainnya (Baca: Metode SCL). Berdasarkan pengalaman selama mengikuti pelatihan Pekerti dan Applied Approach (AA)
dipahami bahwa berbagai metode tersebut dapat dielaborasi dalam satu
rancangan pembelajaran. Karena itu, serangkaian proses kegiatan tersebut
perlu dirumuskan dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS).