Ambo Upe Sekeluarga Mengucapkan "Selamat Menunaikan Ibadah Puasa di Bulan Suci Ramadhan 1439 H"

Tes 1

Mei 11, 2018
Dalam referensi pendidikan kritis akan dijumpai seorang pemikir asal Brasil bernama Paulo Freire. Melalui karya-karyanya tentang pendidikan, Freire telah menggugah dunia pendidikan agar setiap insan harus berjuang untuk menjadi manusiawi yang bebas dari penindasan (Baca: Pemikiran Paulo Freire). Kritiknya yang tajam terkait itu adalah pendidikan “gaya bank” dimana memosisikan peserta didik sebagai “bejana kosong”. Pendidikan ibaratnya tempat menabung, dimana peserta didik menjadi celengan dan guru/dosen sebagai penabung. Kondisi yang demikian ini memandang peserta didik (mahasiswa) sebagai objek yang tidak memiliki pengetahuan, sehingga dalam praktiknya menjadikan ruang kelas sebagai arena dosen semata, sementara ruang gerak mahasiswa terbatas pada kegiatan menerima (taken for granted), mencatat, dan menyimpan. Dalam konteks ini, Paulo Freire tidak sekadar melancarkan kritikanya, namun ia juga menawarkan solusi yang dikemasnya dalam term Problem-Posing Education.
Baca Juga:
Substansi dari pandangan teoretis tersebut sejalan dengan semangat pembelajaran yang diterapkan dalam perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Dalam regulasi ini cukup jelas dan tegas menguraikan Standar Proses Pembelajaran yang dijabarkan dalam pasal 10 – 18. Secara khusus dalam pasal 11 ditegaskan bahwa karakteristik proses pembelajaran terdiri atas sifat interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa. [download Permenristekdikti No. 44/2015]
Sekiranya kedua standing point di atas (teori dan regulasi) cukup menjadi dasar untuk mengintroduksi tulisan ini dengan harapan dapat membuka hati dan pemikiran kita untuk segera move on dan meninggalkan gaya (style) klasik dalam proses pembelajaran.
Pentingnya SCL di Perguruan Tinggi
Disadari sepenuhnya bahwa pembelajaran di perguruan tinggi merupakan kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (Facilitating, Empowering, and Enabling), agar mahasiswa belajar secara aktif dan kreatif dalam mengkonstruksi pengetahuan baru. Implementasi desain tersebut akan tercapai jika segala proses pembelajaran berorientasi pada mahasiswa. Sebagaimana teori dan regulasi dalam introduksi di atas pada dasarnya menegaskan bahwa sudah seharusnya proses pembelajaran beralih (shifting) dari pengajaran berbasis dosen (Lecturer Centered Learning/LCL) menuju pengajaran berbasis mahasiswa (Student Centered Learning/SCL).
Pembelajaran berbasis SCL diharapkan kepada dosen agar memotivasi mahasiswa dengan menyajikan berbagai masalah yang akan memicu kreativitas mereka. Namun peran dosen tidak berhenti di situ saja, melainkan harus menjadi fasilitator dan evaluator untuk memastikan agar tujuan pembelajaran tercapai dan terhindar dari sesat pikir (fallacy).
Baca Juga:
Menariknya dalam proses ini adalah karena bukan hanya mahasiswa yang belajar kepada dosen, tetapi juga terbangun pembelajaran antar-mahasiswa, bahkan dosen pun belajar dari mahasiswa. Di sinilah perlunya memosisikan dosen dan mahasiswa sebagai partner pembelajaran. Bukan pembelajaran satu arah, dimana dosen hanya sibuk pada laptopnya, sibuk di papan tulis dalam menjelaskan materi, sementara mahasiswa hanya datang duduk, diam, dan kalau pun mendegarkan materi dari dosen, hanya Tuhan yang tahu.
Baca Juga:
Dalam proses ini jelas dan tegas bahwa sudah semestinya dosen “beralih fungsi”, dari pengajar (monoton ceramah) menjadi mitra pembelajaran, motivator, fasilitator, dan evaluator pembelajaran. Lalu bagaimana metode yang akan digunakan? Secara praktis, terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan diantaranya: small group discussionrole playing and simulationcase studyself directed learningproblem based learningresearch based learningproject based learningcollaborative learning, dan tentu masih ada yang lainnya (Baca: Metode SCL). Berdasarkan pengalaman selama mengikuti pelatihan Pekerti dan Applied Approach (AA) dipahami bahwa berbagai metode tersebut dapat dielaborasi dalam satu rancangan pembelajaran. Karena itu, serangkaian proses kegiatan tersebut perlu dirumuskan dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS).